English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 09 November 2010

Kesalahan Tidak Pernah Hilang

Seorang pria berdiri mengepal kedua tangan nya, sesekali keringat yang jatuh dari dahi nya diseka dengan sapu tangan putih yang berada di saku celana nya saat ini. Tatapan mata nya tidak bisa lekang dari pintu panil berwarna coklat tua. Menajamkan pendengaran nya mencari informasi yang terjadi di dalam ruang yang tidak mengizinkan nya untuk masuk melihat. Dia bukan lah seorang wartawan atau pun terdakwa yang menunggu ketukan palu atas vonis diri nya. Dia hanyalah seorang pria rata-rata yang tidak bisa menyembunyikan senyum nya ketika suara tangisan bayi yang dinanti nya akhir nya memecahkan segala gundah di hati.

"Bayi bapak laki-laki, dia lahir dengan sempurna" ucap seorang dokter sembari menyerahkan bayi mungil tersebut ke pelukan sang ibu yang terlihat sangat bahagia. Pria itu langsung mendekap keluarga kecil baru nya. Tak henti-henti nya dia mengecup dahi sang istri dan anak pertama mereka. Anak yang dinanti sejak 10 tahun yang lalu.

Lima tahun sudah anak itu dibesarkan dengan kasih sayang yang berlebihan, tubuhnya yang sehat dan keinginan nya yang sangat kuat, akhir nya mendatangkan kegelisahan kecil bagi kedua orang tuanya. Dia suka merusak mainan lama nya jika tidak diberikan mainan yang baru. Dia tidak mau berangkat sekolah kalau kedua orang tua nya tidak menunggu dia hingga jam sekolah usai. Anak itu bahkan lebih suka menangis jika telah melakukan kesalahan dari pada memperbaikinya, hingga waktu berjalan menginjak usia nya yang ke sepuluh.


Suatu hari, Ibu anak itu dipanggil ke sekolah. "Apa lagi yang kamu lakukan?", tanya si ibu dengan nada yang menyiratkan emosi. Ternyata anak itu memukul teman nya hingga berdarah di dahi nya. Si anak mendapat surat peringatan dan si ibu didamprat orang tua korban penganiayaan yang dilakukan putra mereka. Ini harus berhenti, pikir si ayah agar anak tunggal mereka tidak menyimpang dari sikap baik sebagaimana diharapkan kedua orang tua nya.

Pada suatu malam, si ayah memanggil anak nya dengan suara lembut.
"Nak, ayah tidak ingin kamu menjadi pribadi yang tidak menyenangkan di antara teman-teman dan masyarakat mu nanti nya. Lihat ini!" si ayah menunjukan sebuah paku dan palu kepada anak nya, dengan tatapan tegas dia berharap anak nya mendengarkan dia.
"Paku ini akan ayah tanamkan ke dinding kayu ini setiap kamu melakukan kesalahan, dan ayah akan mencabut kembali paku itu jika kamu memperbaiki kesalahan mu."
si anak mengangguk-angguk, seperti nya dia mulai sadar dengan kegelisahan kedua orang tua nya.

Hari pun bergeser setiap jam nya, pada awal perjanjian si anak masih lupa akan ucapan ayah nya. Dia tetap melakukan kesalahan beberapa kali, dan beberapa kali pula si ayah menancapkan paku ke dinding kayu yang berplat nama anak nya. Semakin hari paku yang ditancapkan junlah nya semakin bertambah dan belum ada satu paku pun yang lepas dari papan. Hingga suatu hari, si ayah kesulitan untuk menancapkan paku berikut nya. Si anak melihat kesulitan yang dialami ayah nya dan dia pun terlihat kaget melihat banyak nya paku di dinding saat ini, dan dia pun berkata
"maafkan aku ayah, aku berjanji akan mencabut paku-paku itu dengan memperbaiki semua kesalahan ku."

Tekad anak itu memperbaiki kesalahan nya akhir nya berbuah manis, seiring pertambahan usia nya dia semakin tumbuh menjadi sosok yang mulai dewasa. Ketika usia nya hampir dua puluh tahun dan kedua orang tua nya pun mulai semakin tua, ayah nya mencabut paku terakhir dari dinding. Betapa senang nya si anak, akhir nya dia mampu memperbaiki semua kesalahan yang pernah ia lakukan dan menjengkelkan kedua orang tua nya.
"ayah, lihat aku. aku menepati janji. semua paku sudah hilang dari dinding, sekarang apakah ayah dan ibu bangga dengan ku?" tanya anak itu sambil merangkul kedua orang tua nya.
"kami bangga dengan usaha yang telah kamu lakukan, tapi coba kamu lihat dinding itu (ketiga pasang mata menatap dinding kayu yang pernah ditancapkan paku-paku sebagai bentuk kesalahan anak mereka)......dinding itu tidak bisa kembali seperti semula. bekas cabutan paku-paku itu masih tersisa disana. bisakah kamu mengembalikan nya seperti semula? ayah harap kamu bisa mengambil hikmah bahwa paku-paku itu walau sudah dicabut tetap meninggalkan bekas di dinding. Begitulah kesalahan yang diibaratkan dengan paku itu. Walau kita sudah memperbaiki nya tetap saja memori itu teringgal di ingatan orang-orang yang kita lukai atau sakiti."

Si anak terdiam sambil menundukan kepala, jemari-jemari nya perlahan lepas dari bahu kedua orang tua nya. untuk pertama kali nya dia menangis karena kesalahan diri nya membuat haru kedua orang tua itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More